Berapa Gaji Ayah ?
Seperti biasa, Arief, seorang Manajer di
Pertamina Kantor Pusat - Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9.15 pm. Tidak biasanya, Salsa, putri pertamanya yang baru duduk di kelas 3
SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya, ia sudah menunggu cukup lama.
"Assalaamu'alaikum, hai Salsa. Kok belum tidur?" sapa Arief sambil mencium pipi anaknya.
Biasanya Salsa memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Ayah menuju ruang keluarga, Salsa menjawab,
"Salsa sengaja menunggu Ayah pulang, sebab Salsa mau tanya berapa sih gaji Ayah per jam?".
"Lho, kok tanya gaji Ayah segala, mau minta uang lagi ya ...?".
"Ah enggak, hanya kepingin tahu saja" jawab Salsa singkat.
"OK,
Salsa bisa hitung sendiri ya ... Setiap hari Ayah kerja rata-rata 11
jam sehari, 22 hari sebulan dan dibayar Rp. 18.150.000 sebulan. Hayoo
... berapa gaji Ayah per jam? Sabtu - minggu kadang-kadang Ayah harus
lembur, tapi tidak mendapatkan gaji tambahan karena sudah termasuk dalam
gaji bulanan Ayah".
Memang kalau tidak lembur, Arief sibuk golf sehingga sangat jarang bisa bermain-main dengan Salsa.
Salsa
lari ke kamarnya mengambil kertas dan pensil untuk menghitung gaji
Ayahnya per jam, sementara Arief berganti pakaian. Belum selesai ganti
pakaian, Salsa sudah menyusul ke kamarnya seraya mengatakan
"Gaji
Ayah per hari jadi Rp. 825.000,- atau per jam Rp. 75.000,-, benar kan
Yah?", tanya Salsa mencoba meyakinkan kebenaran jawabannya.
"Wah ...
pintar kamu. Sudah, sekarang sudah malam, ayo cuci kaki lalu tidur",
perintah Arief kepada Salsa. Tetapi, Salsa tak beranjak.
"Ayah, boleh enggak Salsa pinjam uang Rp. 7.500,-?
"Sudah,
nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini?
Ayah capek dan mau mandi dulu. Sekarang, tidurlah", jawab Arief.
"Tapi Ayah ...."
Kesabaran Arief pun habis, "Ayah bilang tidur!!", hardiknya mengutkan Salsa.
Anak kecil itupun berbalik dan lari masuk ke kamarnya.
Usai
mandi, Arief nampak menyesali dirinya. Ia pun menengok Salsa di
kamarnya. Anak kesayangannya itu belum tidur dan didapati sedang
terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 30.000,- di tangannya.
Sambil
berbaring mengelus kepala anak kecil itu, Arief berkata, "Maafkan Ayah
nak, Ayah sayang sama Salsa, tapi buat apa sih minta uang malam-malam
begini?. Kalau mau beli mainan, besok saja kan bisa. Jangankan Rp.
7.500,- lebih dari itupun Ayah belikan".
"Ayah, Salsa tidak minta uang. Salsa hanya mau pinjam. Nanti akan Salsa kembalikan dari hasil menabung uang jajan Salsa".
"Iya ... iya ... tapi buat apa?", tanya Arief lembut, pingin tahu.
"Besok
Salsa libur. Salsa sengaja menunggu Ayah dari tadi. Salsa mau ajak Ayah
main ular tangga. Tiga puluh menit saja", Salsa perlahan menjelaskan.
"Bunda
sering bilang kalau waktu Ayah sangat berharga, maka Salsa sengaja
pecahkan tabungan Salsa untuk mengganti waktu Ayah, Tapi, ternyata
tabungan Salsa hanya Rp. 30.000,-, jadi kurang Rp. 7.500,-, makanya
Salsa mau pinjam dulu sama Ayah", terang Salsa dengan polos.
Arief
pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Matanya mulai berkaca-kaca.
Diraihnya Salsa dan dipeluknya erat-erat dengan penuh perasaan haru. Dia
baru menyadari, ternyata limpahan uang dan harta dari kerja kerasnya di
Pertamina yang ia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli"
kebahagiaan anaknya. Betapa selama ini ia menyia-nyiakan banyak
kesempatan untuk bermain, menyayang dan mendidik anaknya. Dan dia
bertekad untuk menyediakan waktu yang lebih banyak sesudah ini.
"Bagi dunia, kau hanya seseorang. Tapi, bagi seseorang, kau adalah dunianya ...".
Pertamina tetap berjalan tanpa kau, Arief. Tapi, keluargamu akan sangat kehilangan dan terlunta-lunta tanpa kamu, Arief.
Sumber: Majalah Hadila